“Ayo, sabana satu sudah di depan mata!”
Saya menyemangati teman-teman yang mencoba berdiri setelah
terpeleset di tanjakan gelap berpasir di Gunung Merbabu, Magelang, Jawa Tengah.
Saya yang memimpin di depan mecoba menerangi jalan mereka dengan headlamp yang terpaksa dijepit di sabuk
tas carrier karena talinya sudah
kendur.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul 4 pagi. Kami sudah mulai
mengantuk dan kelelahan. Ya, hujan di bulan September membuat kami mesti menunda
jam keberangkatan dari Yogyakarta, dari pukul 5 sore menjadi pukul 8 malam. Pendakian
pun baru bisa dimulai pukul setengah dua belas malam.
Saat mulai pendakian, kami bertemu kelompok pendaki. Kebanyakan
berasal dari Jakarta dan akan mulai mendaki keesokan paginya. Mereka
menyemangati kami yang akan mendaki malam itu juga. Mungkin mereka pikir kami
terlalu nekat mengejar matahari terbit.
Karena berangkat pada malam hari, tidak banyak pemandangan
yang bisa kami lihat. Hanya gugus bintang dan gemerlap lampu-lampu rumah saja yang
bisa kami pandangi saat beristirahat pada setengah perjalanan. Itu pun tidak
mampu kami abadikan, karena kamera kami belum mumpuni pada keadaan kurang
cahaya.
Pukul 4 pagi, kami mulai mendirikan tenda di ujung Sabana 1-yang
langsung mengarah ke Gunung Merapi. Pemandangan terlihat cukup jelas walau
keadaan masih gelap. Gagahnya bayangan Gunung Merapi, taburan bintang, dan
gemerlap lampu-lampu rumah di bawahnya sedikit menunda rasa kantuk kami.
Setelah tenda berdiri dan perbekalan disantap, kami memutuskan tidur agar bisa
menjaga stamina.
Dua jam kemudian, saya sudah terbangun oleh suara alarm dari
ponsel teman saya. Ya, saya hanya tidur 2 jam, tapi untuk edisi petualangan,
sudah cukup, lah. Sisanya saya akan balas dendam untuk tidur seharian di rumah!
Dengan alarm yang masih berbunyi, saya memutuskan keluar
tenda meninggalkan teman-teman yang masih tidur pulas. Begitu menyingkap kain
di depan pintu tenda, pemandangan membuat bibir saya berbisik ‘Waw!’.
Gunung Berapi tegak di hadapan saya. Langit jernih, belum
tertutup awan dan kabut. Hidung saya yang dingin mulai terkena sinar matahari.
Angin pagi berhembus pelan. Suara kicau burung memecah keheningan. Hanya satu
kata yang bisa menggambarkan suasana ini: indah.
Saya bersyukur bisa menghirup udara pagi yang segar dan
menikmati pemandanga di sekitar, karena pemandangan ini tak bisa dinikmati
lama-lama.
Ketika matahari semakin naik, semakin banyak pula kabut yang
muncul mengelilingi tenda. Pemandangan Gunung Merapi, lembah, dan bukit
tiba-tiba lenyap. Kabut tebal menyelimuti hingga menjelang sore, meninggalkan
hening dan syahdu. Untung saja saya sudah mengabadikan pemandangan pagi tadi!
Gunung Merbabu memang terkenal dengan keindahan alam
sekitarnya. Meskipun menurut orang-orang, jalurnya lebih ekstrim dari Gunung Semeru,
tetapi keindahannya akan selalu membuatmu ingin kembali lagi dan lagi.
Sebagian orang menganggap bahwa mendaki sampai puncak Gunung
Merbabu bukanlah tujuan utama. Menurut mereka, berada di puncak tidak seindah
yang dibayangkan. Pemandangan tercantik justru bisa ditemui di area sabananya
yang luas dan ditumbuhi semak-semak. Maka kami putuskan, pendakian kami pun
cukup sampai di Sabana 1 saja.
Menjelang sore, ditemani mendung dan kabut tebal, kami
memutuskan kembali turun. Tak lupa, sepanjang perjalanan, kami berfoto ria.
Kecantikan Gunung Merbabu terlalu menggoda untuk tak kami abadikan!
0 comments:
Posting Komentar
terimakasih telah mengunjungi blog kami, semoga bermanfaat :)