Minggu, 29 Oktober 2017




“Ayo, sabana satu sudah di depan mata!”

Saya menyemangati teman-teman yang mencoba berdiri setelah terpeleset di tanjakan gelap berpasir di Gunung Merbabu, Magelang, Jawa Tengah. Saya yang memimpin di depan mecoba menerangi jalan mereka dengan headlamp yang terpaksa dijepit di sabuk tas carrier karena talinya sudah kendur.
Jam sudah hampir menunjukkan pukul 4 pagi. Kami sudah mulai mengantuk dan kelelahan. Ya, hujan di bulan September membuat kami mesti menunda jam keberangkatan dari Yogyakarta, dari pukul 5 sore menjadi pukul 8 malam. Pendakian pun baru bisa dimulai pukul setengah dua belas malam.
Saat mulai pendakian, kami bertemu kelompok pendaki. Kebanyakan berasal dari Jakarta dan akan mulai mendaki keesokan paginya. Mereka menyemangati kami yang akan mendaki malam itu juga. Mungkin mereka pikir kami terlalu nekat mengejar matahari terbit.

Karena berangkat pada malam hari, tidak banyak pemandangan yang bisa kami lihat. Hanya gugus bintang dan gemerlap lampu-lampu rumah saja yang bisa kami pandangi saat beristirahat pada setengah perjalanan. Itu pun tidak mampu kami abadikan, karena kamera kami belum mumpuni pada keadaan kurang cahaya.

Pukul 4 pagi, kami mulai mendirikan tenda di ujung Sabana 1-yang langsung mengarah ke Gunung Merapi. Pemandangan terlihat cukup jelas walau keadaan masih gelap. Gagahnya bayangan Gunung Merapi, taburan bintang, dan gemerlap lampu-lampu rumah di bawahnya sedikit menunda rasa kantuk kami. Setelah tenda berdiri dan perbekalan disantap, kami memutuskan tidur agar bisa menjaga stamina.

Dua jam kemudian, saya sudah terbangun oleh suara alarm dari ponsel teman saya. Ya, saya hanya tidur 2 jam, tapi untuk edisi petualangan, sudah cukup, lah. Sisanya saya akan balas dendam untuk tidur seharian di rumah!

Dengan alarm yang masih berbunyi, saya memutuskan keluar tenda meninggalkan teman-teman yang masih tidur pulas. Begitu menyingkap kain di depan pintu tenda, pemandangan membuat bibir saya berbisik ‘Waw!’.

Gunung Berapi tegak di hadapan saya. Langit jernih, belum tertutup awan dan kabut. Hidung saya yang dingin mulai terkena sinar matahari. Angin pagi berhembus pelan. Suara kicau burung memecah keheningan. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan suasana ini: indah.

Saya bersyukur bisa menghirup udara pagi yang segar dan menikmati pemandanga di sekitar, karena pemandangan ini tak bisa dinikmati lama-lama.

Ketika matahari semakin naik, semakin banyak pula kabut yang muncul mengelilingi tenda. Pemandangan Gunung Merapi, lembah, dan bukit tiba-tiba lenyap. Kabut tebal menyelimuti hingga menjelang sore, meninggalkan hening dan syahdu. Untung saja saya sudah mengabadikan pemandangan pagi tadi!

Gunung Merbabu memang terkenal dengan keindahan alam sekitarnya. Meskipun menurut orang-orang, jalurnya lebih ekstrim dari Gunung Semeru, tetapi keindahannya akan selalu membuatmu ingin kembali lagi dan lagi.

Sebagian orang menganggap bahwa mendaki sampai puncak Gunung Merbabu bukanlah tujuan utama. Menurut mereka, berada di puncak tidak seindah yang dibayangkan. Pemandangan tercantik justru bisa ditemui di area sabananya yang luas dan ditumbuhi semak-semak. Maka kami putuskan, pendakian kami pun cukup sampai di Sabana 1 saja.

Menjelang sore, ditemani mendung dan kabut tebal, kami memutuskan kembali turun. Tak lupa, sepanjang perjalanan, kami berfoto ria. Kecantikan Gunung Merbabu terlalu menggoda untuk tak kami abadikan!

Categories:


Terimakasih telah berkunjung ke Tekno Sore. Untuk perihal bisnis dan kerjasama, silahkan hubungi kami melalui email abdulhaqfaruq@gmail.com

0 comments:

Posting Komentar

terimakasih telah mengunjungi blog kami, semoga bermanfaat :)